This post is also available in: English
Perbincangan dengan komunitas ini dapat terlaksana melalui bantuan jaringan mitra kami di Indonesia. Efra (YAPEKA), Alfi, Fitria, Melly (Yayasan Planet Indonesia), dan Nurmayanti (Forkani) mewawancarai anggota masyarakat secara personal, baik melalui telepon maupun tatap muka.
Di suatu hari pada Juli lalu, Nurmayanti sedang duduk di kursi kayu di kantor Forkani di Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia saat dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia melihat empat wanita suku Bajo, tanpa alas kaki, mendorong gerobak penuh ikan—lajang (bahasa lokal untuk ikan tenggiri) dan cakalang—dan menjualnya di sekitar desa.
Mereka berteriak, “Ikan lajang! Ikan cakalang!”
Pendapatan nelayan turun secara signifikan karena rantai pasokan perikanan terputus dan pasar tradisional memiliki lebih sedikit pengunjung dengan jam operasional terbatas.
Biasanya para ibu ini menjual hasil tangkapan suaminya di pasar setempat. Namun, karena pandemi COVID-19 yang berkembang, kehidupan masyarakat pesisir pun berubah. Pendapatan nelayan turun secara signifikan karena rantai pasokan perikanan terputus dan pasar tradisional memiliki lebih sedikit pengunjung dengan jam operasional terbatas.
“Mama, saya mau beli ikan,” kata Nurmayanti, yang akhirnya membawa pulang 10 ekor ikan lajang hanya dengan Rp20,000 (sekitar £1.03). Harga yang ia bayarkan lebih murah dari harga ikan biasanya. Untuk para ibu-ibu nelayan ini, potongan harga tersebut masih lebih baik daripada tidak ada yang membeli ikannya sama sekali, “Lebih baik dijual murah daripada hanya menyisakan ikan busuk,” kata mereka.
Orang Bajo adalah suku di Indonesia yang terkenal dengan kehidupannya yang nomaden sebagai penjelajah laut. Nurmayanti mengetahui bahwa para ibu yang berasal dari suku Bajo ini datang dengan perahu dari Bajo Sampela, desa terapung di dekat Pulau Kaledupa. Untuk menjual hasil tangkapan suaminya, mereka menyewa gerobak di pulau tersebut dan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya di enam desa di Kaledupa. Mereka hanya membawa satu harapan: mendapatkan cukup uang untuk memberi makan keluarganya.
Perjuangan sehari-hari para perempuan di pesisir
Pandemi yang terjadi secara global saat ini membuat beban perempuan-perempuan pesisir jauh lebih berat dari sebelumnya.
Nurmayanti bekerja dengan Forkani, sebuah organisasi yang berdedikasi untuk mengembangkan pengelolaan pesisir berbasis masyarakat di Wakatobi. Nurmayanti tahu banyak tentang bagaimana bekerja dengan perempuan pesisir karena ia bertanggung jawab atas program kesehatan Forkani yang bekerja sama dengan institusi kesehatan daerah. Perempuan memainkan peran utama dalam sektor perikanan skala kecil di Wakatobi. Mereka mendukung para suami yang bekerja sebagai nelayan dalam menangani dan menjual hasil tangkapan, sekaligus merawat rumah dan mengasuh anak-anak. Pandemi yang terjadi secara global saat ini membuat beban perempuan-perempuan pesisir jauh lebih berat dari sebelumnya.
Nurmayanti bercerita tentang Mama Asrami, tetangganya di Kaledupa Selatan, kepada saya. Dia dan suaminya adalah pembudidaya rumput laut yang memiliki empat anak. “Saya merasa kelelahan setiap hari. Saya sering pusing dan pegal-pegal,” keluh Mama Asrami kepada Nurmayanti.
Kami bekerja setiap hari, dari pagi hingga malam. Sebagai pembudidaya rumput laut, saya membersihkan dan mengeringkan tali pancing panjang lalu mengikat benih rumput laut ke tali tersebut. Di rumah, saya juga mengurus pekerjaan rumah, mencuci pakaian dan piring, serta mengurus keluarga saya yang ada enam orang,” tambahnya.
Putri bungsunya, Agis, masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Kini, setelah taman kanak-kanak ditutup, guru Agis datang ke rumah dan mengajarinya serta beberapa anak lain di daerahnya. Namun, beliau hanya mengajar pada pagi hari.
“Lewat tengah hari, saya harus membantunya mengerjakan PR,” kata Mama Asrami. “Kami juga perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk hal-hal yang dia butuhkan untuk belajar, seperti buku dan kertas,” tambahnya.
Nurmayanti bercerita kepada saya, “Selain bekerja keras menjual hasil tangkapan suami, menjaga anak selama sekolah ditutup menjadi tantangan besar.” Dari suaranya, saya bisa mengatakan bahwa dia sangat berempati dengan perjuangan sehari-hari para perempuan pesisir ini.
Para lelaki mencari nafkah untuk keluarga dan memastikan keamanan masyarakat sekitarnya
Di Desa Sungai Nibung, Kubu Raya, Kalimatan Barat, Alfi—yang bekerja pada program kesehatan di Yayasan Planet Indonesia (YPI)—mengamati bagaimana nelayan menghadapi pandemi. Sungai Nibung merupakan salah satu lokasi tempat YPI bekerja dalam mendukung pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan melalui program perikanan. Program tersebut bertujuan untuk melindungi ekosistem mangrove dengan menerapkan sistem penutupan pantai sementara. Selain itu, mereka juga melibatkan masyarakat untuk melestarikan laut secara berkelanjutan.
“Di masyarakat Sungai Nibung, laki-laki bertanggung jawab untuk menghidupi keluarga mereka. Itu sebabnya bagi laki-laki di sini, dampak COVID-19 telah menimbulkan kekhawatiran seputar ketidakamanan finansial dan kehilangan pendapatan,” Alfi bercerita kepada saya melalui telepon, dalam salah satu pertemuan rutin kami.
Dia bercerita tentang percakapannya dengan Arif Suandi, seorang nelayan yang juga ketua Rukun Tetangga (RT) di desa tersebut.
Hidup jadi lebih sulit selama pandemi. Harga kepiting bakau dan udang turun, tapi itu bukan satu-satunya tantangan. Sistem distribusi juga terputus. Hal ini menyebabkan beberapa barang yang diperlukan tidak terkirim, termasuk es yang membuat tangkapan kami tetap segar. Artinya, kami hampir harus berhenti menangkap ikan,” kata Arif.
Jalur distribusi makanan dan barang, baik untuk konsumsi maupun penangkapan ikan, menjadi terganggu karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan oleh pemerintah. Hal ini membuat masyarakat Sungai Nibung yang terpencil sangat terpukul lantaran mereka bergantung pada pasokan barang dari daerah perkotaan. PSBB juga mengakibatkan berkurangnya penjualan produk hasil laut dari nelayan di pesisir ke konsumen di perkotaan sehingga menurunkan pendapatan masyarakat pesisir.
Terlepas dari segala keterbatasan yang ada sekarang, Arif terus berusaha menafkahi keluarganya sekaligus aktif terlibat dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya pencegahan COVID-19 di komunitasnya. “Sebagai ketua RT, saya mendorong semua warga untuk tetap sehat dan menghindari kumpul-kumpul. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya,” jelas Arif.
Oleh karena itu, ketika menghadapi krisis seperti pandemi sekarang, merekalah yang mengambil peran lebih besar untuk melindungi orang-orang di komunitas mereka.
Di banyak kelompok masyarakat, kaum lelaki yang berperan sebagai pemimpin. Oleh karena itu, ketika menghadapi krisis seperti pandemi sekarang, merekalah yang mengambil peran lebih besar untuk melindungi orang-orang di komunitas mereka.
Di Bulutui, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, tempat mitra Blue Ventures—YAPEKA—bekerja sama dengan masyarakat untuk mengembangkan pengelolaan lokal perikanan gurita, kaum lelaki di sana pun dituntut untuk mengambil peran lebih besar.
“Di masa pandemi ini, selain menangkap ikan, saya juga bekerja sebagai anggota Satgas COVID-19,” kata Munir Maun, nelayan di Desa Bulutui, kepada Efra, salah satu staf di YAPEKA.
“Kami memantau perbatasan desa dan memastikan tidak ada pertemuan massal yang terjadi. Selain itu, kami juga memastikan kelancaran penyampaian program bantuan pemerintah pusat,” tambah Munir.
Dalam banyak kasus, kelompok seperti Satgas Bulutui didominasi oleh laki-laki. Artinya, selain harus menafkahi keluarga, laki-laki juga harus mengalokasikan waktu dan tenaga untuk menjaga keselamatan masyarakat.
Menyambut keadaan normal yang baru
Saat ini, masyarakat pesisir di Indonesia masih berusaha melindungi diri dari COVID-19, sekaligus menyesuaikan diri dengan cara hidup yang baru.
Saat ini, masyarakat pesisir di Indonesia masih berusaha melindungi diri dari COVID-19, sekaligus menyesuaikan diri dengan cara hidup yang baru. Mereka juga harus menyesuaikan cara mereka mencari nafkah karena permintaan pasar untuk produk-produk makanan laut secara bertahap meningkat lagi. Para nelayan pun kini kembali melaut sambil berusaha menjaga jarak sosial dan memerhatikan kesehatan mereka.
Sementara itu, organisasi mitra kami terus mendukung komunitas-komunitas di pesisir dengan mencari solusi sebaik mungkin, baik untuk para perempuan dan laki-laki.
Di Wakatobi, Forkani bekerja sama dengan pemerintah, sebagai bagian dari Satgas COVID-19 di Kaledupa, untuk membantu memberikan bantuan dan perlengkapan kesehatan kepada masyarakat. Pasar setempat telah dibuka kembali dan perempuan Bajo pun tidak perlu lagi mendorong gerobak dari desa ke desa.
Di Kubu Raya, pasar sudah dibuka kembali meski harga ikan masih cukup rendah. Oleh karena itu, Arif dan nelayan lain di Desa Sungai Nibung tetap terus melaut untuk menafkahi keluarganya.
Arif sendiri merupakan anggota Pelayanan Usaha Masyarakat Konservasi (PUMK), program dari Yayasan Planet Indonesia (YPI) yang bekerja untuk memperkuat ketahanan finansial masyarakat. Selain itu, mereka juga memfasilitasi pemasaran produksi secara berkelanjutan melalui skema PUMK untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati di ekosistem yang rentan di Indonesia. Sebagai anggota PUMK yang terlibat aktif dalam kegiatan konservasi, ia telah menerima sejumlah dana bantuan dari program untuk menghidupi dirinya beserta keluarga selama pandemi.
Meskipun terkena dampak sosial ekonomi yang sama akibat COVID-19, para perempuan dan laki-laki di pesisir Indonesia ini berjuang dengan cara yang sangat berbeda, tetapi sangat nyata. Dukungan holistik yang diberikan oleh YPI, Forkani, dan YAPEKA membawa harapan bagi masyarakat pesisir. Mereka beradaptasi dengan tatanan hidup yang baru, meskipun sangat menantang, mereka tetap kuat menghadapinya.
Learn about how our partners in Indonesia have been connecting through the pandemic